Paryanto Pemerhati Pendidikan Peristiwa OTT atas Romahurmuzy di Surabaya sungguh memberikan pelajaran. OTT yang didasari terjadinya t...
Paryanto Pemerhati Pendidikan |
Peristiwa OTT atas Romahurmuzy di Surabaya sungguh memberikan pelajaran. OTT yang didasari terjadinya tindak pidana terkait pengisian jabatan di jajaran Kemenag tersebut telah menjadi contoh kongkrit bahwa ada problem serius dalam tata kelola dan birokrasi kelemahan perguruan tinggi negeri di tanah air.
Awal muasalnya bermula dari perubahan aturan tentang Pengangkatan Rektor Perguruan Tinggi Negeri yang semula langsung oleh Presiden diubah dan dicukupkan oleh menteri. Perubahan ini berawal dari periode Moh. Nuh ketika diangkat menjadi Mendiknas.
Meskipum sudah diingatkan oleh banyak pihak tetapi perubahan tersebut tetap berlangsung.
Beberapa alasan keberatan atas perubahan tersebut adalah: Pertama, karena perubahan pengangakatan rektor oleh Menteri dinilai mengurangi wewenang Presiden. Kedua, dalam perspektif birokrasi pemerintahan, pengangkatan rektor oleh menteri bisa berarti mendegradasikan jabatan rektor menjadi setara dengan pejabat eselon II. Karena Surat Keputusan pengangkatan jabatan Eselon I seperti Itjen, Dirjen, dan Kepala Badan dilakukan oleh Presiden melalui Tim Penilai Akhir (TPA) yg diketuai Mensesneg. Sedangkan pengangkatan pejabat setingkat Direktur, Kepala biro, Sekretaris Ditjen, dll dilakukan oleh Menteri yang menjabat kementerian bersangkutan.
Dalam perspektif teoritis desentralisasi wewenang seperti ini tentu sebuah kemajuan dalam sistem administrasi negara. Desentralisasi dinilai anti tesa atas model sentralistik dalam paradigma Old Public Administration dan sejalan dengan paradigma New Public Managemen. Di Indonesia, peran dan kewenangan negara dalam pengelolaan Perguruan Tinggi dikonsentrasikan di Kementerian Risat dan Pendidikan Tinggi untuk Perguruan Tinggi Umum Negeri dan di Kementerian Agama untuk Perguruan Tinggi Islam Negeri. Penetapan Pimpinan Perguruan Tinggi Umum Negeri mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 dimana Menteri memiliki 35% suara dan Senat 65% Suara. Sementara untuk Perguruan Tinggi di lingkungan Kementerian Agama pemilihan Pimpinan diatur dalam Peraturan Menteri Agamanya Nomor 68 Tahun 2015.
Dalam PMA ini kewenangan penuh dalam penentuan Rektor Universitas atau Ketua di Sekolah Tinggi Islam Negeri ada pada Menteri Agama. Senat hanya berkewenangan memberikan penilaian kualitatif dan selanjutnya mengajukan 3 nama Calon ke Menteri Agama. Jadi Menteri Agama lah menentukan sepenuhnya siapa yang akan menjadi pimpinan perguruan tinggi. Hanya saja kultur birokrasi dan setting sosial budaya Indonesia belum sepenuhnya berkemiripan dengan konteks birokrasi di Inggris dan Amerika. Salah satunya adalah karena sistem dan budaya birokrasi kita di Indonesia masih lemah. Sistem yang lemah ini masih memberikan ruang yang cukup luas dan leluasa bagi para rent seeker untuk melakukan manuvernya. Salah satu akibat negatifnya adalah merebaknya calo2 jabatan dalam dan di lingkungan birokrasi pemerintahan. contoh yang sangat konkritnya adalah kasus yang membawa Romy hingga terciduk OTT KPK itu.
Penulis: Paryanto Pemerhati Pendidikan
Awal muasalnya bermula dari perubahan aturan tentang Pengangkatan Rektor Perguruan Tinggi Negeri yang semula langsung oleh Presiden diubah dan dicukupkan oleh menteri. Perubahan ini berawal dari periode Moh. Nuh ketika diangkat menjadi Mendiknas.
Meskipum sudah diingatkan oleh banyak pihak tetapi perubahan tersebut tetap berlangsung.
Beberapa alasan keberatan atas perubahan tersebut adalah: Pertama, karena perubahan pengangakatan rektor oleh Menteri dinilai mengurangi wewenang Presiden. Kedua, dalam perspektif birokrasi pemerintahan, pengangkatan rektor oleh menteri bisa berarti mendegradasikan jabatan rektor menjadi setara dengan pejabat eselon II. Karena Surat Keputusan pengangkatan jabatan Eselon I seperti Itjen, Dirjen, dan Kepala Badan dilakukan oleh Presiden melalui Tim Penilai Akhir (TPA) yg diketuai Mensesneg. Sedangkan pengangkatan pejabat setingkat Direktur, Kepala biro, Sekretaris Ditjen, dll dilakukan oleh Menteri yang menjabat kementerian bersangkutan.
Dalam perspektif teoritis desentralisasi wewenang seperti ini tentu sebuah kemajuan dalam sistem administrasi negara. Desentralisasi dinilai anti tesa atas model sentralistik dalam paradigma Old Public Administration dan sejalan dengan paradigma New Public Managemen. Di Indonesia, peran dan kewenangan negara dalam pengelolaan Perguruan Tinggi dikonsentrasikan di Kementerian Risat dan Pendidikan Tinggi untuk Perguruan Tinggi Umum Negeri dan di Kementerian Agama untuk Perguruan Tinggi Islam Negeri. Penetapan Pimpinan Perguruan Tinggi Umum Negeri mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 dimana Menteri memiliki 35% suara dan Senat 65% Suara. Sementara untuk Perguruan Tinggi di lingkungan Kementerian Agama pemilihan Pimpinan diatur dalam Peraturan Menteri Agamanya Nomor 68 Tahun 2015.
Dalam PMA ini kewenangan penuh dalam penentuan Rektor Universitas atau Ketua di Sekolah Tinggi Islam Negeri ada pada Menteri Agama. Senat hanya berkewenangan memberikan penilaian kualitatif dan selanjutnya mengajukan 3 nama Calon ke Menteri Agama. Jadi Menteri Agama lah menentukan sepenuhnya siapa yang akan menjadi pimpinan perguruan tinggi. Hanya saja kultur birokrasi dan setting sosial budaya Indonesia belum sepenuhnya berkemiripan dengan konteks birokrasi di Inggris dan Amerika. Salah satunya adalah karena sistem dan budaya birokrasi kita di Indonesia masih lemah. Sistem yang lemah ini masih memberikan ruang yang cukup luas dan leluasa bagi para rent seeker untuk melakukan manuvernya. Salah satu akibat negatifnya adalah merebaknya calo2 jabatan dalam dan di lingkungan birokrasi pemerintahan. contoh yang sangat konkritnya adalah kasus yang membawa Romy hingga terciduk OTT KPK itu.
Penulis: Paryanto Pemerhati Pendidikan