M. Din Syamsuddin Munculnya Polemik Tentang Kafir membuat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Din Syams...
M. Din Syamsuddin |
"Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung Karena khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan. Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yang sensitif sekarang ini. Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi Karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan sebagai berikut:Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) Karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik. Polemik berkembang rancu, baik Karena penjelasan publik awal dari Munas Ulama NU ada mengaitkan keduanya ("dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidakada istilah kafir tapi muwathin"), dan polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut)."
Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur'an adalah "dalalah Ilahiyah" (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Al-Qur'an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).
Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dgn pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu "menutup", maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran ttg Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihanNya.
Dalam hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidakbersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat). Al-Qur'an juga mengenalkan konsep-konsep etis lain yang berhubungan dgn konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam.
Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada manusia yang tidakberiman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Sebenarnya istilah ttg "orang luar" ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench marking of belief). Orang yang tidakmemenuhi kriteria tersebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others).
Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep ttg "orang luar" dan "orang lain ini" dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik Karena memakluminya maupun Karena memang mereka merasa bukan "orang dalam" lingkaran keyakinan tersebut. Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yang bersifat menghina atau menista. ( Bersambung )
Yangon, 5 Maret 2019.
Penulis: M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI