Ton Abdillah Has Tak ada sosok yang lebih fenomenal pada Pilpres 2019 ini selain Cawapres Sandiaga S. Uno. Mentoknya penerimaan publi...
Ton Abdillah Has |
Tak ada sosok yang lebih fenomenal pada Pilpres 2019 ini selain Cawapres Sandiaga S. Uno. Mentoknya penerimaan publik pada figur Prabowo, ditutupi dengan baik berkat magnet Sandiaga. Sosok Sandi yang muda, ganteng, pintar dan kaya raya, nampaknya menjadi alasan kuatnya animo publik. Hampir di setiap kegiatan kampanye yang dihadiri Sandi, mendapat sambutan luas masyarakat. Bisa dibilang, Sandi lah tulang punggung Koalisi Indonesia Menang, termasuk dalam urusan pembiayaan kampanye.
Beberapa hari ini, muncul pemberitaan yang merilis bahwa Sandi telah menghabiskan 100jt USD (setara 1,4 trilyun rupiah) sejak masa kampanye, yang oleh para pendukung Sandi dipandang sebagai bentuk kerelaan berkorban untuk memperbaiki Indonesia. Benarkah? Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan penelaahan, tracking kandidat, tentang siapa Sandiaga Uno, bagaimana dia mampu menjelma menjadi salah satu konglomerat di usia yang sangat muda, dan kemunculan di panggung politik tertinggi dalam tempo cepat.
Siapa Sandi Uno?
Mahfum diketahui publik perihal kedekatan Sandi dengan keluarga taipan William Soeryadjaya (oom Willem), konglomerat produk Orde Baru, bekas pemilik Bank Summa dan Group Astra. Kedekatan ini dimulai saat Sandi yang baru lulus Bachelor of Business Administration dari Witcita State University, mulai bekerja di Bank Summa tahun 1990. Om Willem yang melihat potensi Sandi, menyekolahkannya kembali ke Amerika, di School of Business George Washington University.
Lulus GWU dua tahun kemudian, Sandi kemudian bekerja pada dua perusahaan investasi di Singapura. Ketika perusahaan tempatnya bekerja terimbas krisis 1997, sandi kembali ke Jakarta. Sempat dililit persoalan ekonomi dan tinggal sementara di rumah orang tuanya, Sandi kemudian kembali bekerja pada anak tertua om Willem, Edward Soeryadjaya lalu mendirikan PT. Recapital Advisor.
Tahun 1998, anak kedua om Willem, Edwin Soeryadjaya menggandeng Sandi mendirikan PT. Saratoga Investama Sedayu, sebuah perusahaan investasi. Hubungan Sandi dengan Edwin yang dikenal sebagai salah seorang dari "sembilan naga" yang legendaris di Indonesia itu, tetap awet hingga kini, sedangkan dengan Edward diwarnai banyak "permusuhan" dan sengketa hukum.
Kombinasi Recapital sebagai konsultan keuangan dengan Saratoga yang bergerak pada privat equity membawa Sandi menjadi milyarder baru. Konsentrasinya? Membeli perusahaan-perusahaan yang kolaps akibat krisis 97-98, dibenahi dalam setahun dua, lalu dijual kembali dengan harga mahal. Awal kebangkitannya adalah aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga dibawah Bank Indonesia, yang bertanggung jawab mengelola aset sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI adalah baillout (dana talangan) dengan dalih penyelamatan perekonomian nasional. Kenaikan nilai tukar secara tiba-tiba yang berbarengan dengan jatuh temponya hutang-hutang banyak perusahaan pemerintah dan swasta, menyebabkan ekonomi kolaps, sehingga di ambil alih pemerintah. Konsekuensinya, aset-aset mereka juga diambil alih Bank Indonesia, dikelola oleh BPPN, dibawah kendali Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), sebuah board khusus pejabat teras diantaranya berisi Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Pada 1998, dana BLBI yang disalurkan sedikitnya mencapai Rp 320 triliun. Sebanyak Rp 175,3 triliun diterima bank pemerintah dan Rp 144,5 triliun diterima 48 bank umum swasta nasional. Belakangan, BLBI dianggap sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia, karena aset yang disita tak sebanding dengan dana talangan, proses pengembaliannya diwarnai korupsi kebijakan, begitu pula aset yang dikelola BPPN banyak dijual dengan harga murah lewat proses kong kalingkong, bahkan diantaranya dibeli kembali dengan harga kelewat murah oleh pemilik lama. Skandal BLBI belum sepenuhnya tuntas secara hukum hingga kini, baik di Kejaksaan Agung, Mabes Polri maupun KPK.
Berbekal keahlian finance, linkage dengan lembaga funding di dalam dan luar negeri, serta akses ke BBPN, jadi lah Recapital dan Saratoga menjadi "mak comblang" jual beli aset-aset BPPN. Pinjam dana, beli aset, lalu tinggal menuai hasil, tanpa perlu repot membangun pondasi industri seperti umumnya pengusaha konvensional. Meski gagal membeli Astra, perusahaan yang dilepas om Willem tahun 1992, pembelian Bank BTPN dan Tambak Dipasena, tambak udang terbesar di Asia Tenggara, adalah contoh sukses operasi keuangan Sandi.
Jadi, Sandi adalah pelaku free trade yang memulai bisnis sebagai broker investasi, lewat perusahaan privat equity yang memainkan hegde fund. Jenis bisnis yang memerlukan high yeld khas pelaku ekonomi neoliberal, sehingga tidak bisa jauh dari politik. Bahkan hingga kini, bentangan bisnis Sandi, dari investasi, pertambangan hingga telekomunikasi, merupakan jenis bisnis yang berkait erat dengan resource negara dan regulasi. Bagi pelaku ekonomi pemuja pasar bebas, Sandi memang dijujuki "deal maker" terbaik, namun bagi yang kontra, Sandi adalah "burung pemakan bangkai", meski sebagian perusahaan yang dibeli murah dan diperbaiki tersebut, tidak semuanya dijual kembali jika memberi proyeksi keuntungan jangka panjang.
Ekonomi Pasar Bebas vs Ekonomi Kerakyatan
Sejak sebelum Indonesia merdeka, para founding father telah menyepakati bentuk dan dasar negara Indonesia merdeka. Falsafah kehidupan berbangsa tersebut, termasuk dalam ekonomi, termaktub jelas dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam prinsip dan praktik ekonomi, sistem ekonomi Pancasila meletakkan keadilan dan kegotongroyongan sebagai prinsip dasar, sebuah ekonomi kerakyatan yang dalam imajinasi Bung Hatta berupa koperasi.
Mubyarto (1991), profesor ekonomi kerakyatan UGM, mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem perekonomian yang didasarkan pada demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat secara maksimal, bukannya kemakmuran perorangan dan golongan. Menurut Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan sama dengan sistem ekonomi Pancasila, karena disusun sebagai usaha bersama berdasar kekeluargaan. Mubyarto meyakini ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang paling kompatible untuk Indonesia karena menjalankan demokrasi ekonomi berdasarkan musyawarah.
Namun dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan hanyalah dokrin ekonomi tanpa daya, jika melihat struktur ekonomi Indonesia, ketika penguasaan ekonomi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat bergulat dalam kemiskinan. Kini, satu persen penduduk menguasai lebih dari setengah kekayaan. Kesenjangan ekonomi ini kian hari semakin membesar dan dapat menjadi pemicu gejolak sosial hebat. Realitas tersebut disebabkan oleh praktik ekonomi kapitalisme yang dijalankan dengan prinsip neo-liberalisme ekonomi.
Paham neo-liberal sejatinya adalah revisi atas paham kapitalisme yang menyesuaikan diri terhadap bentuk baru negara-bangsa dan relasi diantara mereka. Prinsip ekonomi neo-liberal, dikenal sebagai Washington Consensus, meminggirkan peran negara dan membuka peran privat sektor seluas-luasnya. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal seperti liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, kebebasan dalam arus modal, privatisasi perusahaan negara, dan persaingan bebas dalam industri.
Praktik ekonomi neo-liberal di Indonesia kian berkuku pasca berakhirnya rezim orde baru. Pada era awal reformasi, tercatat setidaknya 22 regulasi perundangan yang "didiktekan" oleh konsultan-konsultan asing yang berkantor di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, setelah terlebih dahulu mereka turut "mengawal" proses amandemen konstitusi, UUD 1945.
Diantara regulasi perundangan yang "rasa" IMF dan Word Bank itu adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Keuangan dan Perbankan, UU Ketenagakerjaan, dan UU Migas. Ciri khas "regulasi neoliberal" ini adalah swastanisasi segala hal, bahkan air yang sejak lama bukanlah komoditas bisnis, karena dipayungi UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, kini berubah menjadi komoditas bisnis menggiurkan.
Panggung ekonomi politik Indonesia ke depan, nampaknya masih akan jadi pertarungan ekonomi neoliberal dan penentang nya yang kian lemah. Diperlukan kehadiran negara sebagai penengah, sehingga hadir "jalan baru" yang berkemampuan "memaksa" pemerataan ekonomi dan proteksi pada ekonomi kerakyatan.
The Smiling Capitalist
Pemikir politik dan ekonomi dunia umumnya memahami sekali eratnya hubungan antara kepemimpinan politik dan pelaku ekonomi. Tak perlu menilai Indonesia yang bentuk demokrasinya masih berproses, bahkan pemilu Amerika Serikat saja tidak bisa dilepaskan dari kekuatan finansial dalam memenangkan pemilu. Era liberal election di Indonesia, kian menempatkan arti pentingnya bandar politik, hal yang menempatkan rakyat sebagai objek politik semata, tak ubahnya pemilu era otoritarian Orde Baru.
Namun demikian, gejala yang lebih menghawatirkan adalah kemunculan pemain ekonomi pada panggung politik. Setelah partai politik Indonesia dalam kendali kuasa modal, memang hanya soal waktu para taipan ekonomi menjadi pemimpin formal negara melalui pemilu. Setelah era nya Jusuf Kalla, saudagar dengan rekam jejak organisasi kemasyarakatan dan politik mumpuni, kemunculan Sandiaga Uno adalah genre baru.
Rekam jejaknya yang sulit diendus publik, dibandingkan misalnya Aburizal Bakrie yang terbebani isu Lapindo, membuat publik lebih sulit "memotret" sosok Sandi. Sehingga wajar jika masyarakat hanya melihat Sandi sebagai "nice guy" yang memberi harapan baru pada panggung politik nasional. Semua proses Sandi menjadi konglomerat memang bukan dengan jalan konvensional, tanpa kontroversi, dan hanya sesekali muncul dalam sorotan hukum.
Kebuntuan politik Indonesia dalam menemukan sosok yang berada diluar citra koruptif, membuat kemunculan Sandi ke panggung politik tertinggi mengalami percepatan luar biasa. Sehingga belum setahun pasca terpilih menjadi Wagub DKI Jakarta, Sandi sudah mengumumkan maju mendampingi Prabowo dalam Pilpres 17 April mendatang.
Kini, berpulang pada kita untuk menentukan, patut kah kita percayakan pembangunan ekonomi Indonesia yang isu utamanya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerataan ekonomi pada sosok Sandi?
Wallahu a'lam bishawab
Penulis Ton Abdillah Has mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2010-2012
Beberapa hari ini, muncul pemberitaan yang merilis bahwa Sandi telah menghabiskan 100jt USD (setara 1,4 trilyun rupiah) sejak masa kampanye, yang oleh para pendukung Sandi dipandang sebagai bentuk kerelaan berkorban untuk memperbaiki Indonesia. Benarkah? Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan penelaahan, tracking kandidat, tentang siapa Sandiaga Uno, bagaimana dia mampu menjelma menjadi salah satu konglomerat di usia yang sangat muda, dan kemunculan di panggung politik tertinggi dalam tempo cepat.
Siapa Sandi Uno?
Mahfum diketahui publik perihal kedekatan Sandi dengan keluarga taipan William Soeryadjaya (oom Willem), konglomerat produk Orde Baru, bekas pemilik Bank Summa dan Group Astra. Kedekatan ini dimulai saat Sandi yang baru lulus Bachelor of Business Administration dari Witcita State University, mulai bekerja di Bank Summa tahun 1990. Om Willem yang melihat potensi Sandi, menyekolahkannya kembali ke Amerika, di School of Business George Washington University.
Lulus GWU dua tahun kemudian, Sandi kemudian bekerja pada dua perusahaan investasi di Singapura. Ketika perusahaan tempatnya bekerja terimbas krisis 1997, sandi kembali ke Jakarta. Sempat dililit persoalan ekonomi dan tinggal sementara di rumah orang tuanya, Sandi kemudian kembali bekerja pada anak tertua om Willem, Edward Soeryadjaya lalu mendirikan PT. Recapital Advisor.
Tahun 1998, anak kedua om Willem, Edwin Soeryadjaya menggandeng Sandi mendirikan PT. Saratoga Investama Sedayu, sebuah perusahaan investasi. Hubungan Sandi dengan Edwin yang dikenal sebagai salah seorang dari "sembilan naga" yang legendaris di Indonesia itu, tetap awet hingga kini, sedangkan dengan Edward diwarnai banyak "permusuhan" dan sengketa hukum.
Kombinasi Recapital sebagai konsultan keuangan dengan Saratoga yang bergerak pada privat equity membawa Sandi menjadi milyarder baru. Konsentrasinya? Membeli perusahaan-perusahaan yang kolaps akibat krisis 97-98, dibenahi dalam setahun dua, lalu dijual kembali dengan harga mahal. Awal kebangkitannya adalah aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga dibawah Bank Indonesia, yang bertanggung jawab mengelola aset sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI adalah baillout (dana talangan) dengan dalih penyelamatan perekonomian nasional. Kenaikan nilai tukar secara tiba-tiba yang berbarengan dengan jatuh temponya hutang-hutang banyak perusahaan pemerintah dan swasta, menyebabkan ekonomi kolaps, sehingga di ambil alih pemerintah. Konsekuensinya, aset-aset mereka juga diambil alih Bank Indonesia, dikelola oleh BPPN, dibawah kendali Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), sebuah board khusus pejabat teras diantaranya berisi Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Pada 1998, dana BLBI yang disalurkan sedikitnya mencapai Rp 320 triliun. Sebanyak Rp 175,3 triliun diterima bank pemerintah dan Rp 144,5 triliun diterima 48 bank umum swasta nasional. Belakangan, BLBI dianggap sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia, karena aset yang disita tak sebanding dengan dana talangan, proses pengembaliannya diwarnai korupsi kebijakan, begitu pula aset yang dikelola BPPN banyak dijual dengan harga murah lewat proses kong kalingkong, bahkan diantaranya dibeli kembali dengan harga kelewat murah oleh pemilik lama. Skandal BLBI belum sepenuhnya tuntas secara hukum hingga kini, baik di Kejaksaan Agung, Mabes Polri maupun KPK.
Berbekal keahlian finance, linkage dengan lembaga funding di dalam dan luar negeri, serta akses ke BBPN, jadi lah Recapital dan Saratoga menjadi "mak comblang" jual beli aset-aset BPPN. Pinjam dana, beli aset, lalu tinggal menuai hasil, tanpa perlu repot membangun pondasi industri seperti umumnya pengusaha konvensional. Meski gagal membeli Astra, perusahaan yang dilepas om Willem tahun 1992, pembelian Bank BTPN dan Tambak Dipasena, tambak udang terbesar di Asia Tenggara, adalah contoh sukses operasi keuangan Sandi.
Jadi, Sandi adalah pelaku free trade yang memulai bisnis sebagai broker investasi, lewat perusahaan privat equity yang memainkan hegde fund. Jenis bisnis yang memerlukan high yeld khas pelaku ekonomi neoliberal, sehingga tidak bisa jauh dari politik. Bahkan hingga kini, bentangan bisnis Sandi, dari investasi, pertambangan hingga telekomunikasi, merupakan jenis bisnis yang berkait erat dengan resource negara dan regulasi. Bagi pelaku ekonomi pemuja pasar bebas, Sandi memang dijujuki "deal maker" terbaik, namun bagi yang kontra, Sandi adalah "burung pemakan bangkai", meski sebagian perusahaan yang dibeli murah dan diperbaiki tersebut, tidak semuanya dijual kembali jika memberi proyeksi keuntungan jangka panjang.
Ekonomi Pasar Bebas vs Ekonomi Kerakyatan
Sejak sebelum Indonesia merdeka, para founding father telah menyepakati bentuk dan dasar negara Indonesia merdeka. Falsafah kehidupan berbangsa tersebut, termasuk dalam ekonomi, termaktub jelas dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam prinsip dan praktik ekonomi, sistem ekonomi Pancasila meletakkan keadilan dan kegotongroyongan sebagai prinsip dasar, sebuah ekonomi kerakyatan yang dalam imajinasi Bung Hatta berupa koperasi.
Mubyarto (1991), profesor ekonomi kerakyatan UGM, mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem perekonomian yang didasarkan pada demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat secara maksimal, bukannya kemakmuran perorangan dan golongan. Menurut Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan sama dengan sistem ekonomi Pancasila, karena disusun sebagai usaha bersama berdasar kekeluargaan. Mubyarto meyakini ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang paling kompatible untuk Indonesia karena menjalankan demokrasi ekonomi berdasarkan musyawarah.
Namun dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan hanyalah dokrin ekonomi tanpa daya, jika melihat struktur ekonomi Indonesia, ketika penguasaan ekonomi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat bergulat dalam kemiskinan. Kini, satu persen penduduk menguasai lebih dari setengah kekayaan. Kesenjangan ekonomi ini kian hari semakin membesar dan dapat menjadi pemicu gejolak sosial hebat. Realitas tersebut disebabkan oleh praktik ekonomi kapitalisme yang dijalankan dengan prinsip neo-liberalisme ekonomi.
Paham neo-liberal sejatinya adalah revisi atas paham kapitalisme yang menyesuaikan diri terhadap bentuk baru negara-bangsa dan relasi diantara mereka. Prinsip ekonomi neo-liberal, dikenal sebagai Washington Consensus, meminggirkan peran negara dan membuka peran privat sektor seluas-luasnya. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal seperti liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, kebebasan dalam arus modal, privatisasi perusahaan negara, dan persaingan bebas dalam industri.
Praktik ekonomi neo-liberal di Indonesia kian berkuku pasca berakhirnya rezim orde baru. Pada era awal reformasi, tercatat setidaknya 22 regulasi perundangan yang "didiktekan" oleh konsultan-konsultan asing yang berkantor di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, setelah terlebih dahulu mereka turut "mengawal" proses amandemen konstitusi, UUD 1945.
Diantara regulasi perundangan yang "rasa" IMF dan Word Bank itu adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Keuangan dan Perbankan, UU Ketenagakerjaan, dan UU Migas. Ciri khas "regulasi neoliberal" ini adalah swastanisasi segala hal, bahkan air yang sejak lama bukanlah komoditas bisnis, karena dipayungi UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, kini berubah menjadi komoditas bisnis menggiurkan.
Panggung ekonomi politik Indonesia ke depan, nampaknya masih akan jadi pertarungan ekonomi neoliberal dan penentang nya yang kian lemah. Diperlukan kehadiran negara sebagai penengah, sehingga hadir "jalan baru" yang berkemampuan "memaksa" pemerataan ekonomi dan proteksi pada ekonomi kerakyatan.
The Smiling Capitalist
Pemikir politik dan ekonomi dunia umumnya memahami sekali eratnya hubungan antara kepemimpinan politik dan pelaku ekonomi. Tak perlu menilai Indonesia yang bentuk demokrasinya masih berproses, bahkan pemilu Amerika Serikat saja tidak bisa dilepaskan dari kekuatan finansial dalam memenangkan pemilu. Era liberal election di Indonesia, kian menempatkan arti pentingnya bandar politik, hal yang menempatkan rakyat sebagai objek politik semata, tak ubahnya pemilu era otoritarian Orde Baru.
Namun demikian, gejala yang lebih menghawatirkan adalah kemunculan pemain ekonomi pada panggung politik. Setelah partai politik Indonesia dalam kendali kuasa modal, memang hanya soal waktu para taipan ekonomi menjadi pemimpin formal negara melalui pemilu. Setelah era nya Jusuf Kalla, saudagar dengan rekam jejak organisasi kemasyarakatan dan politik mumpuni, kemunculan Sandiaga Uno adalah genre baru.
Rekam jejaknya yang sulit diendus publik, dibandingkan misalnya Aburizal Bakrie yang terbebani isu Lapindo, membuat publik lebih sulit "memotret" sosok Sandi. Sehingga wajar jika masyarakat hanya melihat Sandi sebagai "nice guy" yang memberi harapan baru pada panggung politik nasional. Semua proses Sandi menjadi konglomerat memang bukan dengan jalan konvensional, tanpa kontroversi, dan hanya sesekali muncul dalam sorotan hukum.
Kebuntuan politik Indonesia dalam menemukan sosok yang berada diluar citra koruptif, membuat kemunculan Sandi ke panggung politik tertinggi mengalami percepatan luar biasa. Sehingga belum setahun pasca terpilih menjadi Wagub DKI Jakarta, Sandi sudah mengumumkan maju mendampingi Prabowo dalam Pilpres 17 April mendatang.
Kini, berpulang pada kita untuk menentukan, patut kah kita percayakan pembangunan ekonomi Indonesia yang isu utamanya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerataan ekonomi pada sosok Sandi?
Wallahu a'lam bishawab
Penulis Ton Abdillah Has mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2010-2012